Kamis, 24 Oktober 2013
Sejarah Teater Samrah
Istilah samrah mungkin berasal dari bahasa Arab "Samarokh" yang berarti "kumpul". Penamaan ini sesuai dengan kenyataan pada waktu yang lampau samrah ditampilkan pada saat-saat orang berkumpul setelah acara "Maulid" dan "malam Angkat" dalam rangkaian upacara pernikahan menurut tradisi Betawi, tanpa disediakan panggung cukup disediakan tempat tertentu saja. Pertunjukan musik dan tari Samrah lazim dilanjutkan dengan membawa cerita. Kalau pertunjukan musik dan tarinya diselenggarakan tanpa panggung, teaternya pun dengan sendirinya tanpa panggung, yakni dengan pentas berbentuk arena, sesuai dengan keadaan tempat. Komando sebagai tanda dimulainya pertunjukan, biasanya diucapkan oleh tuan rumah yang mempunyai hajat : "Ayo dong meja-kursi digeserin, piring mangkok dibenahin, Nyok deh kite nyerbu" maka diatas tikar yang terbentang, disitulah pertunjukan dilakukan. Tampak bahwa Samrah tampil dalam pesta perkawinan, bukan pada upacara lainnya. Mereka main karena diundang, tanpa dibayar, pemain dan hadirin hanya bertujuan menari hiburan belaka. Tidak mengherankan bilamana kostum para pemain Samrah yang asli berupa jas, kain plakat dan peci, suatu seragam yang biasa dipakai oleh kaum pria Betawi menghadiri upaeara pernikahan.
Teater Samrah pada umumnya tidak menggunakan dekor, kadang-kadang ada yang melengkapinya dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Cerita yang biasa dibawakan teater Samrah adalah dengan bahasa Melayu tinggi dengan banyak menggunakan kata-kata Melayu Riau seperti eneik, abang, tuan, gerangan, hamba dan fain-lain, walaupun diueapkan dalam, lafal melayu Betawi. Tonil Samrah ini sesudah perang dunia kedua popularitasnya dikalangan remaja makin berkurang. Peremajaannya mandeg. Hal ini mungkin karena lagu-agunya yang berbau "kuno" dengan iramanya yang lamban, atau karena musiknya sulit dimainkan, rata-rata bernada minor; atau karena tariannya yang berdasarkan gerakan silat seni bela diri yang masih belum meluas atau juga karena pantunnya yang jarang orang menghafalkannya luar kepala.
Dalam membawakan cerita, ciri khas Samrah terlihat dari penyampaian maksud yang berbentuk pantun yang dinyanyikan. Sama seperti "pakem" opera, karena pada dasarnya toni! samrah juga berasal dari teater rakyat Melayu Riau yakni Teater Dermuluk, tetapi dalam perkembangannya berubah bentuknya setelah muncul di Betawi menjadi Melayu Betawi. Karena berbau opera itulah, para pemain Samrah harus paham dan pandai berpantun dan bernyanyi.
Sumber : http://warisanbudayaindonesia.info/view/warisan/1187/Tari_Samrah
Rabu, 23 Oktober 2013
Tanjidor
Sejarah Singkat
Tanjidor atau musik Tanjidor berasal dari bahasa Portugis yaitu Tangedor yang berarti kelompok musik berdawai (Kamus Ensiklopedia Indonesia oleh Van Hoeve terbitan Ichtiar Baru tahun 1984). Diduga Tanjidor berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Jakarta pada abad XIV sampai abad XVI. Kelompok musik Tanjidor biasanya memainkan musik pada pawai militer atau upacara keagamaan. Konon salah satu Gubernur Jenderal Belanda, Valckenier, menggabungkan rombongan 15 orang pemain musik tiup Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan penabuh tambur Turki untuk memeriahkan pesta.
Perkembangan Musik Tanjidor
Peralatan Tanjidor yang ada sekarang merupakan peninggalan Belanda sehingga usianya sudah sangat tua. Alat-alat musik Tanjidor diantaranya adalah :
Bedug (Bas Drum)
Tambur (Snare drum)
Cymbal
Clarinet
Thrombon
Piston (Terompet)
Tenor
Bass Throm
Dengan alat-alat musik setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiring helaran (hajatan) dan arak-arakan pengantin. Salah satu ciri khas Tanjidor adalah membawakan lagu-lagu Betawi dan bisa disebut cerminan adaptasi masyarakat lokal terhadap musik barat. Sebagai penggalan cermin masyarakat Betawi yang pada saat itu sudah tidak asing dengan pergaulan antar bangsa lantaran sejak lama hidup berdampingan dengan bangsa Nunik Sumasni, Ahmad Nuryadin, Cina dan Arab.
nb: diambil dari karya tulis berjudul "Tanjidor" oleh Nunik Sumasni, Ahmad Nuryadin
Tanjidor atau musik Tanjidor berasal dari bahasa Portugis yaitu Tangedor yang berarti kelompok musik berdawai (Kamus Ensiklopedia Indonesia oleh Van Hoeve terbitan Ichtiar Baru tahun 1984). Diduga Tanjidor berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Jakarta pada abad XIV sampai abad XVI. Kelompok musik Tanjidor biasanya memainkan musik pada pawai militer atau upacara keagamaan. Konon salah satu Gubernur Jenderal Belanda, Valckenier, menggabungkan rombongan 15 orang pemain musik tiup Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan penabuh tambur Turki untuk memeriahkan pesta.
Perkembangan Musik Tanjidor
Peralatan Tanjidor yang ada sekarang merupakan peninggalan Belanda sehingga usianya sudah sangat tua. Alat-alat musik Tanjidor diantaranya adalah :
Bedug (Bas Drum)
Tambur (Snare drum)
Cymbal
Clarinet
Thrombon
Piston (Terompet)
Tenor
Bass Throm
Dengan alat-alat musik setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiring helaran (hajatan) dan arak-arakan pengantin. Salah satu ciri khas Tanjidor adalah membawakan lagu-lagu Betawi dan bisa disebut cerminan adaptasi masyarakat lokal terhadap musik barat. Sebagai penggalan cermin masyarakat Betawi yang pada saat itu sudah tidak asing dengan pergaulan antar bangsa lantaran sejak lama hidup berdampingan dengan bangsa Nunik Sumasni, Ahmad Nuryadin, Cina dan Arab.
nb: diambil dari karya tulis berjudul "Tanjidor" oleh Nunik Sumasni, Ahmad Nuryadin
Senin, 21 Oktober 2013
Sejarah Ondel-Ondel
Ondel-ondel konon telah ada sebelum Islam tersebar di Jawa. Dulu fungsinya sebagai penolak bala atau semacam azimat. Saat itu, ondel-ondel dijadikan personifikasi leluhur penjaga kampung. Tujuannya untuk mengusir roh-roh halus yang bergentayangan mengganggu manusia. Oleh karena itu tidak heran kalau wujud ondel-ondel dahulu, menyeramkan. Gambar foto dari sejarawan Rushdy Hoesein yang dilansir dari milist Historia Indonesia membuktikan hal itu.
Seiring perjalanan waktu, fungsinya bergeser. Rushdy mengemukakan bahwa pada masa Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), ondel-ondel menjelma menjadi seni pertunjukan rakyat yang menghibur. Biasanya disajikan dalam acara hajatan rakyat Betawi, penyambutan tamu kehormatan, dan penyemarak pesta rakyat. Di beberapa daerah di Nusantara, terdapat juga pertunjukan kesenian yang mirip ondel-ondel, seperti di Bali jenis kesenian yang mirip ondel-ondel ini disebut dengan barong landung dan di Jawa Tengah yang dikenal masyarakat sana dengan sebutan barongan buncis.
Sabtu, 19 Oktober 2013
Sekilas tentang tari cokek
Jenis kesenian Betawi dengan iringan gambang kromong. Kata cokek berasal dari bahasa Cina, cukin, yaitu selendang yang panjangnya kurang dari satu meter yang dipakai oleh para penari wanita untuk menggaet pasangannya. Berdasarkan beberapa keterangan, tari Cokek dahulu dikembangkan oleh para tuan tanah Cina dan sampai menjelang PD II kelompok tari ini masih dimiliki oleh orang-orang Cina peranakan. Ada pula yang mengartikan 'cokek' sebagai "penyanyi yang merangkap penari" dan biasanya cokek dipanggil untuk memeriahkan suatu hajatan, saat kenduri, atau perayaan. Para cokek disamping menyemarakkan suasana pesta dengan nyanyian dan tarian, mereka juga membantu para tamu dalam perjamuan, misalnya menuangkan minuman, menambah nasi atau lauk-pauk dengan sikap luwes.
Sebelum dimulai, lebih dahulu disajikan wawayangan, di mana para penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kramong. Tangannya merentang setinggi bahu mengikuti gerakan kaki. Setelah itu, para penari mengajak para penonton untuk menari bersama. Caranya yaitu dengan mengalungkan selendang pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila tamu yang diserahi selendang bersedia menari, mulailah penari dan tamu itu ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasangan berhadapan dengan jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya, pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa, pasangan-pasangan itu dapat melakukan gerakan memutar. Setelah selesai ngibing, para pengibing pria memberi imbalan uang kepada penari cokek.
Langganan:
Postingan (Atom)